“Ini tentang senja” Dan aku lebih senang menceritakanmu lewat tulisan ini
“Ini tentang senja”
Dan aku lebih senang menceritakanmu lewat tulisan ini
----
Cicurug, 30 Maret 2020.
Delapan tahun lalu, semuanya dimulai dari sebuah pertemuan yang sudah Tuhan rencanakan berjalan dengan semestinya. Saat itu, lembayung senja sedang menyelimuti bumi. Matahari mulai melenyapkan eksistensinya. Seakan mengerti ini adalah waktu untuk membiarkan bulan bersama dengan bumi. Tuhan telah menakdirkan senjaku datang. Dengan begitu indah. Dengan alunan melodi yang bernari-nari. Dengan hangatnya. Dengan sempurnanya. Dan tak dapat dihindari.
“Aku terpana olehnya. Ah tapi bukan, bukan karena kamu, senja. Aku sama sekali tidak terpana dengan keindahanmu. Langit berwarna jingga itu sama sekali tidak menarik perhatianku, Senja!” berulang kali gumaman itu aku deklarasikan. Sampai akhirnya, senjaku hilang.
Sore itu di tahun dua ribu enam belas, senjaku kian menua. Mentaripun kian menyusut. Dan kali ini senjaku benar-benar hilang dari pandangan yang terbentang luas. Hingga akhirnya aku mengerti, bahwa senjaku bukan untukku. Senjaku tidak untuk untuk menemaniku di keabadian. Senjaku sudah tersenyum lebar dengan pemilikinya di ujung jalan lainnya. “Aku akan kehilangan sang senja seperti aku kehilangan bayangannya.” Desahku pelan, tertahan oleh isak tangis yang mulai pecah. Tangisku megalahkan gemuruh burung-burung yang mulai bersarang ke tempat pulangnya. Mengalahkan teriakan para manusia yang menyeru kerabatnya untuk menepi untuk pulang. Dan aku masih terpaku pada satu titik.
Fajar mulai menjelang, mentari kian berani menari dari ufuk timur. Tak terasa hari telah berganti, sedangkan aku masih terbaring diatas tempat tidurku yang terus berharap senjaku takkan pernah pergi. Sedang pertanyaan “Mengapa kau pergi? Mengapa kau menghilang? Mengapa kau tak memberiku sepucuk surat atau setangkai pesan?” masih setia bersarang dalam lubuk hati.
Puluhan malam telah kulalui tanpanya. Tanpa ia yang dahulu selalu menemani dengan biasan jingga di mega merahnya yang sangat anggun. Kerap kali kusapa sore yang ada, namun tidak dengan senja yang sama seperti senjaku waktu itu.
Hingga akhirnya setelah penantian bertahun-tahunku, tepatnya di November empat bulan yang lalu. Kenyataan kian memantulkan jawaban semu dari sang harapan. Hingga terbang, melayang. Senjaku datang kembali dengan segenggam harapan. Kemudian duduk diatas tanah yang tandus. Ia masih sama dengan senjaku waktu itu. Tuhan memang baik, dia memberikan waktuku dengannya walau tidak lama.
Langit bersua.
Dengan lembut. Dengan indah. Dengan hangat.
Angin mengajakku menari.
Dengan piaway khasnya. Dengan bisikan merdunya. Dengan indah warna melodinya.
Awan mengajakku bernyanyi.
Dengan syahdu. Dengan haru. Dengan lugu.
Bayangkan, betapa indahnya. Ketika senjaku yang hilang kini berada dalam dekapan. Satu tekad yang tak pernah lepas, bahwa aku mencintainya. Benar-benar mencintainya. Namun, Senjaku kini memang memang masih senja yang dulu aku dambakan. Masih senja yang selalu menghangatkan. Masih senja yang dulu membahagiakan. Tapi aku bukanlah jingga yang dulu dia kenal. Bukan jingga yang dulu dia inginkan. Mungkin Tuhan memang tidak menginginkan senja dan jingga teruus berdampingan. Jinggamu kini sudah tak seindah jinggamu dulu. Jinggamu yang kau kenal kini, telah usut terbawa keadaan.
Angin semilir menangkap daun kering yang lepas dari genggaman dahan pohon mahoni. Ya, itu ibarat sebuah takdir saat kata “di dunia ini tidak ada yang adil” menjadi nyata. Sekali lagi, satu senja lagi. Dengan sinar jingga yang membias ke mega merah. Dan garis cakrawala yang membentang di ujung samudera. Masih di sudut ujung jalan ini, berdua, dengan perasaan yang dirundung duka. Aku masih meratapi semuanya. Aku masih bersiteru dengan kenyataan, kenyataan yang tak semestinya tak lagi kualami.
Aku masih meratapi semuanya. Dan aku masih mempertanyakan semua rasa yang kian membekas, seakan mengekor bersama mentari yang tenggelam di ufuk barat. Entah, bagaimana aku menjelaskan perasaanku saat ini. Perasaan yang seperti tak mengenal tuannya, dan tak mengetahui kemana arahnya. Senja kali hadir tak sama. Kemarin aku masih melihatnya di tempat ini, namun kini arahnya dan waktu datangnya tak ku temukan. Yang kutahu, senja itu Tuhan ciptakan bukan untukku.
Masih kuhayati tiap detik nan bahagia ketika berada di sampingnya. “Percayalah”. Satu kata senjaku yang selalu memenuhi pikiranku. “Percayalah” ucapan lembut yang mengelunkan simfoni damai di relung hati. “Percayalah”. Yang kutahu ada satu keyakinan dalam jiwaku yang selalu bersemayam disetiap langkahku.
Yang tak terlupakan, ada satu hal yang mungkin aku tak temui pada orang lain selain pada sennjaku. Ada satu kenyataan yang tak bias aku sembunyikan meski aku berkali-kali menghiraukannya. Ada satu pesan, yang sampai saat ini membuat aku bisa terus bersyukur. Terimakasih sudah hadir. semoga semua kebaikanmu, Allah balas dengan sempurna. Dan semoga kelak, kita bisa menciptakan kesempatan dan pertemuan baik lainnya. Semoga, do’a, usaha dan percaya tidak berhenti di satu titik puas atau luka yang membekas. Semoga, salam hangat senjaku.
Lekas membaik, dari aku untuk kamu senjaku.
Whynulf
#Apapun yang terjadi, jangan sampe lupa gimana caranya senyum 😁😁🥺🥺
Meninggalkan jejak, Bahwa aku pernah baca tulisan ini pada tgl sekarang 2020
ReplyDelete